Kej. 1:1-5; Mzm. 29; Kis. 19:1-7; Mrk. 1:4-11
Minggu ini, menurut kalender liturgis gerejawi, gereja merayakan minggu pembaptisan Tuhan Yesus. Pembaptisan Tuhan Yesus merupakan salah satu peristiwa penting dalam rangkaian proses karya penyelamatan yang dikerjakan Allah melalui Yesus Kristus.
Baptisan diberitakan oleh Yohanes Pembaptis sebagai bentuk pertobatan (Mrk. 1:4). Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa Yesus dibaptiskan? Bukankah karena Yesus adalah Allah yang menjadi manusia, sehingga pada hakikatnya tidak berdosa, lalu mengapa Ia dibaptiskan seolah-olah membutuhkan pertobatan? Pertanyaan itu sejatinya secara tidak langsung sudah dijawab oleh Yohanes Pembaptis ketika mengatakan “membuka tali kasutnya pun aku tidak layak” (Mrk. 1:6). Artinya, Yohanes Pembaptis menyadari ketidaklayakan dirinya membaptiskan Yesus. Ketidaklayakan Yohanes menunjukkan ketidakberdosaan Yesus. Namun, pembaptisan Yesus tetap terjadi. Itu dilakukan karena kerendahan hati Yesus. Hal itu sejalan dengan pengakuan iman gereja yang dinyatakan dalam Filipi 2:7 “melainkan telah mengosongkandiri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.”
Kerendahan hati Yesus dinyatakan pada awalnya dengan kesediaan Yesus datang. Kesediaan itu dinyatakan Alkitab melalui kalimat: “Pada waktu itu datanglah Yesus dari Nazaret…” (Mrk. 1:9). Kata “datanglah” menunjukkan kesediaan Sang Juru Selamat itu bergerak mendekat. Yesuslah yang mengambil inisiatif untuk datang mendekati. Demikianlah Yesus melakukan pendekatan yang sama ketika menyelamatkan manusia, yaitu datang menjumpai manusia berdosa. Hal itu dilakukan karena manusia tidak mungkin dapat mendekati Allah. Dosa yang telah dilakukan manusia membuat relasinya jauh dengan Allah.
Menariknya, melalui baptisan Yesus kita menjumpai tiga “pribadi” Allah. Hal itu dinyatakan dalam Markus 1:10-11, “Pada saat Ia keluar dari air, Ia melihat langit terkoyak, dan Roh seperti burung merpati turun ke atas-Nya. Lalu terdengarlah suara dari sorga: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” Dari pernyataan itu kita menemukan keberadaan Yesus Kristus yang disebut Anak, yang disebut sebagai Pribadi Kedua. Lalu kita juga menemukan keberadaan Roh Kudus yang disebut sebagai Pribadi Ketiga. Serta kita juga menemukan keberadaan Sang Bapa yang disebut sebagai Pribadi Pertama. Di kemudian hari, hal ini menjadi salah satu dasar pengajaran tentang Allah Trinitas.
Pernyataan itu juga menegaskan bahwa di dalam diri Yesus Kristus Allah berkenan berkarya untuk menyelamatkan umat manusia. Sebagai orang beriman yang, teladan kerendahan hati sudah seharusnya menjadi bagian hidup kita. Sikap kerendahan hati adalah sikap yang membuat kita dikasihi dan berkenan kepada Allah.
Refleksi
Marilah kita renungkan :
- Teladan kerendahan hati tidak hanya dinyatakan melalui kelahiran Yesus, tetapi juga kesediaan-Nya untuk dibaptiskan. Bagaimana Anda memahami hal ini?
- Menurut Anda, apakah di masa kini kerendahan hati masih relevan untuk dilakukan? Apa saja manfaat kerendahan hati?
- Sikap kerendahan hati apa yang akan Anda lakukan hari ini?
(Pdt. Addi Soselia Patriabara)