Menjadi Domba Dari Kristus Sang Raja

(Yehezkiel 34:11-16, 20-24; Mazmur 95:1-7a; Efesus 1:15-23; Matius 25:31-46)

Minggu ini disebut sebagai Minggu Kristus Raja sekaligus sebagai minggu terakhir dalam tahun liturgi. Pada hari minggu ini, umat diundang untuk meneguhkan pengakuan iman bahwa Yesus Kristus – Allah yang telah datang ke dalam dunia dalam rupa manusia, adalah Raja bagi semua. Raja adalah kabatan yang penting dan vital dalam suatu kerajaan. Ia memiliki kuasa yang besar, perkataannya diikuti dan pribadinya dihormati. Kondisi seperti ini tidak sedikit membuat para raja akhirnya lupa diri, sehingga mereka memerintah dengan tangan besi dan korup. Namun, sikap seperti ini tidak kita lihat dalam diri Yesus. Dalam setiap karya dan pelayanan yang dilakukan-Nya, ia menunjukkan sikap yang tegas dan juga baik hati. Ia hadir dan menolong tanpa terkecuali.

Injil Matius dalam bacaan minggu ini memberikan sebuah informasi bahwa Sang Raja akan datang kembali dalam kemuliaan-Nya bersama dengan semua malaikat. Raja akan datang untuk mengadakan pemisahan seperti gembala memisahkan domba dari kambing. Domba akan dikumpulkan di sebelah kanan dan kambing di sebelah kiri. Kanan menunjukkan sebuah posisi terhormat. Secara tradisional, beberapa daerah termasuk Israel meyakini kanan sebagai posisi terbaik. Itu sebabnya, kita dapat menemukan dalam Alkitab beberapa informasi terkait upaya untuk menempatkan seseorang di sebelah kanan. Para domba mendapatkan kehormatan untuk berada di posisi kanan Sang Raja, sedangkan para kambing tidak hanya menempati posisi di sebelah kiri namun Raja juga menngatakan bahwa mereka akan masuk ke tempat siksaan yang kekal.

Baik domba maupun kambing, keduanya menjalani kehidupan yang sama di dunia yang sama. Namun, mereka menunjukkan cara hidup yang berbeda. Cara hidup inilah yang menentukan apakah mereka itu domba atau kambing. Dengan demikian, dari cara hidup yang ditunjukkan kita dapat mengenali apakah kita ini domba yang berkenan kepada-Nya atau kambing yang tidak peduli dengan sesama dan mengikuti keinginan pribadi?

(Pdt. Windyarti Anggelina)

About the Author

You may also like these