Yes. 56:1, 6-8; Mzm. 67; Rm. 11:1-2a, 29-32; Mat. 15:21-28
Surat Roma mengingatkan umat penerima surat Roma tentang kemurahan Allah. Kemurahan itu dialami oleh bangsa Israel. Mereka adalah bangsa yang tidak taat. Namun, bangsa Israel “beroleh kemurahan oleh ketidaktaatan mereka” (ay. 30). Firman tidak mengatakan bahwa karena bangsa Israel tidak taat maka mereka mendapat kemurahan. Kalau begitu, mari kita menjadi orang yang tidak taat supaya mendapat kemurahan Allah. Lho kok begitu? Hal ini makin membingungkan kalau dilanjutkan dengan pernyataan “Sebab Allah telah mengurung semua orang dalam ketidaktaatan” (ay. 32). Allah disebut “mengurung.” Jadi benarkah Allah sengaja membuat ketidaktaatan supaya manusia mendapatkan kemurahan Allah?
Tentu kita perlu melihatnya dari gambaran besar terlebih dahulu. Paulus mengatakan semua manusia berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23). Tindakan yang dilakukan manusia dikarenakan mereka memiliki kehendak bebas. Pilihan menjadi tidak setia berasal dari pilihan bebas manusia, bukan kehendak Allah. Pilihan itu membuat manusia “terkurung” atau “terpenjara” dalam kehidupan dalam dosa. Itulah realita hidup manusia. Manusia tidak dapat keluar dari kurungan dosa itu. Mengapa Allah yang disebut melakukannya? Karena “segala sesuatu adalah dari Dia” (Rm. 11:36). Konsep inilah yang disatukan Paulus. Artinya, pilihan manusia berdosa tidak lepas dari pengetahuan Allah, namun bukan rancangan atau kehendak Allah.
Apakah manusia dapat lepas dari penjara itu? Bukankah Tuhan telah menuntun umat dengan hukum-hukumnya? Paulus pernah mengalami kehidupan dalam tuntunan Taurat. Namun, Paulus justru mengatakan Taurat menjadi penjara baru bagi manusia. Kelepasan manusia dari penjara itu hanya terjadi berkat kemurahan Allah. Pola inilah yang terjadi pada orang-orang kristen, yang “dicangkokkan” pada “pohon keselamatan” (Rm. 11:23-24). Orang-orang kristen juga merasakan kemurahan Allah melalui cinta Tuhan Yesus Kristus.
Pola ini yang diharapkan menjadi dasar kehidupan orang-orang kristen di masa kini. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah “jembatan” dalam tema kita. Kita sudah akrab dengan istilah duta, utusan, tangan Allah, dan sejenisnya. Kini kita diperkenalkan dengan istilah jembatan. Orang-orang kristen di Indonesia diharapkan menjadi jembatan, yang mempertemukan dan memperkenalkan kemurahan Allah kepada semua orang di negeri ini. Dengan demikian, jembatan adalah penghubung antara ketidaktaatan manusia dengan kemurahan Allah. Persoalannya jembatan semacam apakah kita? Jembatan “reyot” yang membuat orang terjatuh atau jembatan “bolong-bolong” yang membuat orang terperosok? Tentu jembatan yang diharapkan adalah kokoh terhubung dengan Allah di satu sisi, dan terhubung dengan realita hidup di Indonesia.
Mungkin kita mengatakan, apa manfaatnya, bukankah banyak gereja di Indonesia mengalami penindasan? Bukankah orang kristen kerap diperlakukan sebagai warga negara kelas dua? Bukankah tengah terjadi upaya menggoyang kantong-kantong kekristenan? Benar. Ini tanda ketidaktaatan banyak orang di negeri ini. Justru, mengingat pola yang dikatakan Paulus, dalam ketidaktaatan kemurahan Allah dinyatakan secara jelas. Ketidaktaatan banyak orang di sekitar bukan halangan, melainkan peluang menunjukkan kasih Allah ditujukan bagi semua orang. Maukah kita menjadi jembatan penghubung yang kokoh?
(Pdt. Addi Soselia Patriabara)